Orang awam menunaikan ibadah haji dengan badannya. Karena itu, ketika mengerjakan amalan-amalan haji, dia selalu teringat untuk memuaskan tuntutan badannya akan makanan, minuman, dan pakaian, seolah –olah dia sedang berada di rumah, sebuah prilaku untuk memuaskan hawa nafsunya.
Selain itu, ada pula orang yang menjalankan ibadah haji seakan-akan hendak berwisata, bersenang-senang melihat negeri orang, mencari kekurangan negeri itu sebagai oleh-oleh yang akan diceritakannya kepada banyak orang di negerinya setelah ia kembali dari perjalanan haji.
Kedua manusia ini tidak jauh berbeda dengan orang yang mengerjakan sholat setiap hari. Begitu ia mengangkat takbir ‘Allahu Akbar’, seketika itu pula pikirannya menerawang dan mengembara kepada ingatan-ingatan yang indah-indah dan lucu-lucu, ataupun menghayalkan berbagai peristiwa yang benar atau yang tidak benar terjadi. Otaknya penuh dengan angan-angan yang terkadang menyentuh hal-hal yang dilarang untuk dihadirkan dalam pikiran. Seolah-olah waktu sholat itu menjadi waktu yang penuh ketenangan dan ketentraman untuk memikirkan berbagai hal yang membahayakan syarat sholat.
Karena itu sering kita melihat orang yang mengerjakan amalan haji, hanya anggota-anggota badannya saja yang tampak membuat amalan-amalan haji, namun hatinya jauh dari mengingat atau menghayati amalan haji itu sendiri. Haji yang semacam ini termasuk haji yang tidak sempurna, sama seperti sholat yang tidak khusyu’, yakni sholat yang penuh dengan cacat. Karena itu, menurut pendapat sebagian ulama, sholat seperti itu tidak dapat disebut sebagai sholat yang hakiki (hanya sekedar menggugurkan kewajiban). Demikian pula dengan ibadah haji yang kerap dikatakan orang sebagai ‘Haji yang Mabrur’, lawan dari haji yang tidak mabrur. Wallahu-a’lam.
Sepatutnyalah seorang calon haji dalam mengerjakan ibadah haji hatinya harus khusyu’ dan penuh dengan kekhawatiran bahwa hajinya akan tertolak karena suatu kesalahan atau kekurangan yang diperbuatnya ketika berhaji. Bila hajinya tertolak, maka sia-sialah jerih payahnya selama ini.
Rasulullah SAW mengatakan bahwa siapa yang mengerjakan haji dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan terlarang ataupun berkata cabul, maka luluslah ia dari perjalanan hajinya, seperti seorang bocah yang baru dilahirkan oleh ibunya, yang bersih dari dosa.
Rasulullah SAW menganjurkan agar kita sampai pada tingkat ‘penghapusan dosa’, sehingga dapat hati kita kembali bersih, seperti tanpa dosa. Tetapi untuk melakukannya tidaklah semudah seperti yang dilakukan calon haji yang hanya mengerjakan manasiknya dengan gerak gerik badan semata, sementara hatinya masih dipenuhi daki-daki hawa nafsu yang terus mengingatkannya kepada urusan dunia. Kemudian mereka kembali ke negerinya dengan prasangka bahwa ia telah menjadi haji mabrur. Keadaan seperti ini dapat membawa seseorang kepada sifat membanggakan diri bahwa ia telah berhaji. Wallahu a’lam (hanya Allah yang tahu).
Amalan haji yang sempurna mestinya tidak luput dari ingatan bahwa kita adalah ‘hamba Allah’ yang kini datang kepada-Nya dengan sehelai kain tanpa jahitan sedikitpun. Dia melihat ‘Padang ‘Arafah’ sebagai ‘Padang Mahsyar’, tempat dia akan berkumpul dengan seluruh manusia kelak di Hari Kebangkitan untuk menunggu hari pengadilan Tuhan Yang Maha Adil. Betapa hatinya harus mengingat apabila dia berada benar-benar ditempat semacam itu.
Ketika dia menuju ‘Muzdalifah’ dia dapat bayangkan keadaan bagaimana dia sedang diseret untuk diadili, dan betapa hatinya merasa bimbang dan takut karena menaggung banyak kesalahan dan dosa. Demikian pula dengan saat-saat melempar batu yang harus diingat sebagai ritual melempar setan yang tak tampak oleh mata. Demikian pula dengan bertawaf dan bersa’i, dan seterusnya.
Berbahagialah orang yang mengerjakan haji dengan tidak melupakan hatinya untuk turut berhaji, sehingga semua amalan manasik haji yang penuh dengan rahasia Ilahi tidak terbuang sia-sia, dan terjaminlah – Insya Allah – menjadi haji mabrur, yang dicita-citakan setiap orang yang pergi berhaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar