Oleh : H. M. Effendi Sa'ad
“Dan orang-orang yang memelihara Sholatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Mu’minuun: 9-11)
Dari ayat tersebut di atas, lebih lanjut Imam Ghazali dalam kitabnya yang berjudul “Mencapai Kebahagiaan Hidup dengan Taqwa” menjelaskan bahwa orang yang berbahagia di kalangan kaum mu’minin itu ialah orang yang benar-benar mengamalkan ibadah shalat dengan khusyu’, menepati waktu-waktu shalat, memahami makna dan hikmah shalat, mengindahkan syarat dan rukunnya serta memelihara thuma’ninah dalam seluruh gerakan shalat. Kemudian yang terpenting dari itu ialah buah daripada shalat itu. Apakah dengan mengerjakan shalat itu dapat merubah sifat kita yang kurang baik menjadi baik. Amal kita semakin mendekati kesempurnaan terhadap kehendak Islam atau Allah yang kita sembah itu. Bila demikian jelaslah bahwa shalat kita benar-benar shalat yang membawa kebahagiaan hidup. Dan sebaliknya, bila seseorang sudah mengerjakan shalat tapi amal perbuatannya itu masih kurang baik alias telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam jelaslah disini bahwa orang tersebut belum bisa memahami akan hakekat shalat, dan sekaligus orang yang belum bisa mengambil madu yang terkandung di dalam mengerjakan shalat tersebut.
Shalat diwajibkan kepada setiap orang Islam yang baik (sadar) akal pikirannya dan cukup umur. Shalat dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditentukan, yaitu lima kali dalam sehari semalam. Inilah perintah Allah SWT. Firman-Nya : “Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`.” (Q.S. Al-Baqarah: 238)
Secara zahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca al-Fatihah, rukuk, sujud, duduk antara dua sujud, dan seterusnya. Gerakan dalam shalat ini melibatkan berbagai anggota badan. Inilah shalat secara jasmani atau fisik. Karena semua gerakan badan itu berlaku dalam shalat lima waktu, maka dalam ayat tadi disebut ‘salawati’ (segala shalat), yang mengandung arti ‘plural’ atau jamak, bukan ‘shalat’, melainkan ‘salawati’ (shalat-shalat). Itulah bagian pertama tentang shalat dalam ayat tersebut.
Bagian kedua dalam ayat tersebut ialah tentang shalat ‘wusthaa’. Shalat ini maksudnya adalah shalat hati. Wusthaa dapat diartikan sebagai pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah yaitu, di tengah ‘diri’, maka dikatakan shalat wusthaa itu sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini ialah untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah antara kiri dan kanan, antara depan dan belakang, antara atas dan bawah, dan antara baik dan jahat. Hati merupakan titik tengah, poin perimbangan, poin neraca atau ‘median’. Hati diibaratkan berada di antara dua jari Allah. Dan Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang Ia kehendaki. Maksud dua jari Allah itu adalah dua sifat Allah, yaitu sifat ‘Yang Menghukum dan Mengazab’ dan sifat ‘Yang Indah, Yang Kasih Sayang, Yang Lemah Lembut’.
Shalat dan ibadah yang sebenarnya ialah shalat dan ibadah hati. Bila hati lalai dan tidak khusyu’ atau tidak konsentrasi dalam shalat maka shalat jasmaniah akan berantakan dan kocar-kacir. Apabila ini terjadi, kedamaian jasmani yang diharapkan datang melalui shalat jasmaniah itu tidak akan tercapai. Shalat jasmaniah hanya mampu dilakukan dengan hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, bagaimana mungkin dikatakan shalat. Bagaimana mungkin akan dapat memahami apa yang diucapkan, padahal semua ucapan itu ditujukan kepada Tuhan, meskipun puji-pujian diperuntukkan kepada Allah maupun doa-doa untuk dirinya sendiri. Hal ini perlu diperhatikan dengan seksama agar shalat yang dilakukannya menjadi sempurna dan baik. (sumber Mencapai Kebahagiaan Hidup Dengan Taqwa oleh Imam Ghazali dan Sirr al-Asrar fii ma Yahtaju Ilaihi al-Abrar oleh Syeikh Abdul Qadir Jailani qs.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar