Minggu, 18 Desember 2011

DERAJAT TAQWA

Taqwa memiliki beberapa derajat, diantaranya : 
a)   Taqwa dari dosa syirik atau menyekutukan Allah
            Taqwa dari dosa syirik adalah taqwa untuk menyembah kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu selain Allah walau dengan isyarat sekalipun. Apabila suatu amalan ditujukan kepada selain Allah maka tercemarlah amalan itu karena Allah tidak akan menerima amalan yang dibuat bukan untuk mendapat keridhaan Allah. Padahal amalan yang ikhlas adalah amalan yang ditujukan hanya kepada Allah semata. Amalan yang tidak disertai dengan keikhlasan sama artinya dengan amalan yang dibuat untuk memamerkan diri atau riya’, sedangkan riya’ merupakan perbuatan yang dicela oleh Allah dan merupakan perbuatan syirik khofi.

b .  Taqwa dari dosa-dosa besar
            Taqwa ini merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan orang-orang yang beriman kepada Allah. Bukan hanya untuk para Salik, yakni orang-orang yang mengarahkan segenap hati dan pikirannya ke jalan Allah, taqwa dari dosa besar ini juga diperuntukkan bagi orang-orang yang mengakui keberadaan Allah dan menyembah kepada-Nya. Keta’atan kepada perintah Allah adalah bukti utama bagi mereka yang beriman. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengakui beriman kepada Allah, sementara ia juga melakukan larangan-larangan-Nya ? Dan ia masih juga bersenang-senang melakukan larangan itu. Bukankah itu sama halnya dengan mempermainkan Tuhan ? Karena itu dikatakan bila kematian datang menjemput seseorang yang tengah melakukan dosa besar maka cahaya keimanan akan tercabut dari hatinya sehingga bahaya besar akan jatuh kepadanya. Coba bayangkan bagaimana keadaan seorang mukmin yang tengah menghadapi kematian, sedangkan keimanan berada di luar hatinya !
            Allah SWT tidak ingin hamba-Nya mudah terdorong oleh hawa nafsu yang menyebabkan mereka dengan mudah pula melakukan dosa besar. Karena itu, Allah menjatuhkan hukuman yang berat kepada pelaku dosa-dosa besar ini, misalnya dengan memberi hukuman potong tangan bagi para pencuri, memberlakukan hukum rajam atau mencambuk sebanyak 100 kali bagi pezina yang belum pernah menikah, memberlakukan hukum cambuk sebanyak 80 kali bagi peminum arak, dan sebagainya. Hukuman berat ini diberikan bukan karena Islam senang melihat manusia teraniaya, tetapi untuk mencegah bahaya yang akan menimpa umatnya akibat dari perbuatan-perbuatan yang sangat tercela itu.
            Selain itu, perbuatan dosa besar bertentangan dengan konsep iman yang telah diakui oleh orang-orang yang mengakui dirinya Islam. Jika mereka tetap melakukan dosa tersebut, secara tidak langsung ia telah menanam bibit kufur di dalam dirinya, karena perbuatan dosa besar selalu dibuat oleh orang-orang kafir secara sewenang-wenang tanpa ada hukum yang mencegahnya dan mereka tidak pernah melakukan pelarangan untuk semua perbuatannya. Tegasnya, dengan dosa kufur saja, seseorang dapat menerima laknat Tuhan. Karena itu, ia akan dihukum dengan balasan neraka untuk selama-lamanya apabila dosa-dosa lainnya terkumpul di dalam dosa kufur itu.
c.   Taqwa dari dosa-dosa kecil 
            Dosa kecil yang dilihat dari segi hukum memiliki takaran dosa lebih ringan daripada dosa besar, namun pada hakikatnya adalah dosa yang dalam pandangan Islam harus dijauhi. Karena itu, dosa ini pun harus segera dikikis dan dibersihkan dari dalam diri seseorang dengan cara bertaubat yang sesungguh-sungguhnya. Selain bertaubat, seseorang yang berdosa dapat menghapus dosa itu dengan melakukan berbagai macam ibadah dengan harapan semoga Allah mengampuninya.
            Namun, hukum di atas berbeda dengan pandangan para Salik tentang penyucian hati. Tugas utama para Salik adalah menyucikan diri dari segala daki-daki dunia yang dianggap mengotori jiwanya. Karena itu, tindakan melanggar perintah Allah, walau sekecil apapun tetap merupakan dosa bagi mereka. Perbuatan dosa adalah pantangan utama mereka karena berbuat dosa sama halnya dengan berbuat sesuatu yang tidak diridhai Allah. Perbuatan ini tentu tidak pantas oleh mereka yang menyediakan dirinya untuk menuju ke pintu Ilahi.
            Biasanya bila seseorang pernah berbuat dosa dan lolos dari hukuman maka akan sering terbit godaan dalam hatinya untuk mengulanginya kembali. Nafsu tidak henti-hentinya menggoda diri seseorang. Bila nafsu itu terpenuhi maka ia akan selalu menuntut meraih keuntungan yang lebih dari itu, dan tidak akan tinggal diam sehingga mendapat apa yang dituntutnya itu. Dan hal ini bertentangan dengan konsep seorang Salik yang mencari kesucian diri dalam perjalanannya menuju ke gerbang Ilahi.
d.   Taqwa dari yang Makruh dan Mubah.
            Sesuatu yang makruh tetap dibenci oleh syariat Islam, meskipun tidak ada hukuman yang ditimpakan kepada pelakunya. Namun perkataan ‘benci’ dalam syariat itu sudah cukup untuk menjadikannya sebagai hukuman yang berat bagi orang yang berpikiran jernih. Jika kita dibenci orang, apa lagi hukuman yang lebih berat selain itu ? Terlebih lagi, bila yang membenci itu adalah agama yang kita anut sendiri. Padahal dalam agama itu terkandung perintah dan larangan Allah yang sepatutnya kita junjung tinggi.  Sungguh malang bila kita menyia-nyiakannya. Apakah setelah mengetahui semua itu kita masih dapat membanggakan diri sebagai seorang yang patuh terhadap perintah Tuhan ?
            Dalam hal mubah ini, ketaqwaan seseorang dapat diukur dengan wara’. Bila seseorang memiliki wara’ yang kuat dalam memperhatikan larangan agama maka kuatlah keinginannya untuk meninggalkan mubah yang tidak perlu. Setiap orang dapat mengukur apa yang sesuai menurut dirinya. Wara’ tidak memiliki batasan yang tetap.
            Meskipun hukuman dari perkara yang mubah adalah boleh dilakukan, tetapi batasan boleh itupun bila dilakukan berlebihan akan menarik seseorang kepada perkara yang dilarang agama. Bukankah bila kita melakukan perkara yang mubah secara berlebihan dapat menarik kita kepada hal yang makruh, dan yang makruh itu dapat menarik kita kepada hukum perbuatan yang lebih tercela yaitu haram.
            Berbuat sesuatu secara berlebihan sama halnya dengan mubazir, sedang sikap mubazir itu sendiri dilarang oleh Tuhan. Orang yang melakukannya diibaratkan seperti sekawanan setan. Setan adalah makhluk yang kufur kepada Tuhannya. Allah melaknatnya kekal hingga di hari kiamat. Wajarkah kita berteman dengan setan dan mengikuti petunjuknya, setelah Allah mengingatkan kita bahwa setan adalah musuh yang jahat terhadap bani Adam ?
            Namun alhamdulillah, tidak ada suatu jiwa pun yang tidak didampingi pengawal yang diutus oleh Allah SWT untuk menjaganya agar setan tidak mampu mencengkramnya. Ini dapat terjadi apabila hamba-Nya itu dapat menunjukkan ‘ubudiyyahnya atau penghambaannya secara mutlak kepada uluhiyyah Tuhannya. Dan karena itu, setan tidak akan terus mengganggunya. Tetapi harus diingat bahwa setan tak pernah putus-putusnya mengintai manusia untuk mencari peluang untuk menjerumuskan mereka. Karena itu, sudah semestinya manusia berhati-hati dan menjaga diri agar tidak menjadi mangsa setan.


Artikel Lain Yang Berhubungan :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar