Mereka yang dekat dengan Allah membagi-bagikan ganjaran ruhaninya, hasil ibadah dan amal salehnya dengan niat untuk menghadiahkan pahala amalan salehnya itu kepada orang–orang yang berdosa. Allah dengan Rahmat-Nya mengampuni dosa-dosa hamba–hamba-Nya yamg berdosa dari hasil pembagian sebagian pahala dan ganjaran yang diperoleh hamba–hamba- Nya yang saleh.
Tegasnya, orang – orang Sufi dalam kategori ini sangat merahmati orang-orang awam yang lalai dan selalu mensia-siakan dirinya. Orang seperti ini berada dalam bahaya yang besar, namun mereka tidak sadar, dan terus hidup dalam kelalaian.
Karena itulah kaum Sufi menaruh iba terhadap orang orang yang berdosa ini, sehingga semua amalan baik dan bakti yang dikerjakannya tidak bertujuan untuk meraih pahala yang banyak untuk dirinya sendiri di hari pembalasan. Bahkan, dia menghadiahkan semua pahalanya untuk orang–orang yang lalai dan berdosa tersebut. Mereka dianggap miskin, tidak mempunyai amalan baik yang akan membentengi mereka dari api neraka dan azab siksa di akhirat. Karena itulah mereka dizakati dari amalan–amalan yang dibuat oleh orang–orang Sufi agar timbangannya nanti menjadi berat.
Orang–orang Sufi ini mengosongkan dirinya dari harta benda keduniaan. Bahkan, semua pahala yang diraih dari amalan–amalan kebajikannya pun sudah dihadiahkan kepada orang lain. Jadi, mereka tidak lagi memiliki sesuatu apa pun. Ketaatannya di dunia bukan karena harta dan pangkat, melainkan untuk kehidupannya di akhirat kelak ; bukan karena menginginkan balasan atau pahala yang banyak, melainkan untuk Allah dan semata–mata karena Allah. Ia adalah hamba, dan Dia adalah Tuannya. Dan seorang hamba harus menuruti semua perintah ‘Tuannya’ , karena menunjukkan kepatuhan adalah hal–hal yang mutlak, bukan karena mencari keuntungan dengan balasan pahala atau sebagainya. Orang yang membelanjakan seluruh hartanya dan tidak mengharapkan balasan apa–apapun, termasuk orang–orang yang dilindungi dan dijaga Allah di dunia dan di akhirat.
Seorang Waliyullah perempuan yang bernama Rabi’ah al-‘Adawiyah pernah berdo’a kepada Allah, yang lebih kurang bunyinya sebagai berikut : ”Wahai Tuhanku ! Berikanlah semua bagianku (hartaku) di dunia ini kepada orang – orang kafir, dan sekiranya ada ganjaran bagiku di akhirat nanti, berikanlah semua ganjaranku itu kepada hamba-Mu. Itu saja yang hamba minta dari-Mu, karena manusia dan apa yang dimilikinya, yang sementara itu, sebenarnya adalah milik – Mu jua.”
Itulah yang diminta seorang ‘Abid yang Sufi, yang merindukan Tuhannya, bukan harta kekayaan dan kemewahan Zahrah al-hayah ad-dunya yang dimintanya untuk mengecap kehidupan yang mewah dan bersenang-senang di dunia ini. Tetapi bila ia memintanya, nicaya Allah akan memberikan apa yang diinginkannya. Dan bukan pula pahala dan ganjaran akhirat yang banyak diharapkannya. Malah yang ada untuknya pun, semuanya sudah dihadiahkan kepada yang lain. Yang dikejar dan dicita-citakannya tidak lain adalah kecintaan dan maghfirah-Nya, perlindungan-Nya, perhatian-Nya, kedekatan dengan-Nya, dan akhirnya ia melihat Wajah-Nya. Itulah puncak karunia Allah Swt ! Karena itu, hari mereka tidak pernah berhenti untuk merindukan-Nya.
Setiap yang diberikan manusia di jalan Allah, yang dilakukan dengan tujuan untuk mencari keridhaan Allah, usaha yang dilakukannya itu tidak mungkin sia–sia belaka. Malah ia akan diganti dengan sekurang–kurangnya sepuluh kali dari pahala kita. Bahkan, jika ia benar–benar ikhlas, pahalanya akan dilipatgandakan lagi hingga mencapai tujuh ratus kali lipat atau lebih dari itu. Allah bersifat murah hati, sedangkan kita, memberipun tidak. Nikmat dan karunia-Nya untuk kita sangat berlimpah, terlebih lagi jika kita memberi sesuatu untuk menunjukkan rasa syukur kepada-Nya.
Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah memberi, Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka.
Allah Swt. Berfirman :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar